Sejarah Berdirinya Taswirul Afkar Surabaya

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN TASWIRUL AFKAR SURABAYA
TAHUN 1918-1926

Madrasah dalam dekade abad XX ini merupakan lembaga pendidikan alternatif bagi para orang tua untuk menjadi tempat penyelengaraan pendidikan bagi putra putrinya. Bahkan pada daerah tertentu jumlah madrasah meningkat cukup tajam dari tahun ke tahun. Oleh karena itu, sangat menarik untuk diteliti bagaimana sesungguhnya keberadaan madrasah ini dalam lingkup lembaga pendidikan di Indonesia.

Pertumbuhan suatu lembaga kependidikan tidaklah lahir dengan sendirinya, tetapi melalui proses sebagaimana juga terjadi dalam pertumbuhan lembaga lainnya dalam bidang sosial, politik, ekonomi, lembaga kemasyarakatan, perkembangan masyarakat, pemikiran dan gerakan, kecuali yang bersifat formal, tidaklah muncul dan berhenti pada satu patokan tahun, tetapi biasanya mengandung proses awal atau akhir yang menyebar dalam jarak waktu yang relatif panjang.

Demikian pula halnya dengan madrasah, bila kita lihat pada awal pertumbuhannya termotivasi oleh keadaan dan situasi tertentu yang mengkondisikan madrasah itu tumbuh dengan dimotori oleh perseorangan atau lembaga swasta tertentu, hingga pada perkembangan selanjutnya adanya turut sertanya peran pemerintah.

Keberadaan lembaga pendidikan Islam di Indonesia erat hubungannya dengan masuknya agama Islam di Indonesia. Orang-orang yang telah masuk agama Islam ingin mengetahui dan mempelajari lebih lanjut tentang ajaran-ajaran Islam, ingin pandai dalam melakukan sholat, berdoa, dan membaca al-Quran. Dari sini mulailah tumbuh pendidikan agama Islam. Pelajaran agama Islam itu diberikan di rumah-rumah, surau, langgar, dan mesjid-mesjid. Di tempat-tempat inilah anak-anak, remaja dan orang tua belajar dasar-dasar keyakinan dan amalan keagamaan seperti rukun iman dan rukun Islam.

Pendidikan bagi anak-anak Indonesia pada mulanya hanya terbatas pada pendidikan rendah, akan tetapi kemudian berkembang secara vertikal sehingga anak-anak Indonesia, melalui pendidikan menengah dapat mencapai pendidikan tinggi meskipun melalui jalan yang sulit.

Lahirnya suatu sistem pendidikan bukanlah hasil suatu perencanaan menyeluruh melainkan langkah demi langkah melalui eksperimentasi dan didorong oleh kebutuhan praktis dibawah pengaruh kondisi sosial, ekonomi dan politik di negeri Belanda maupun di Hindia Belanda.
Pendidikan Islam merupakan pewarisan dan perkembangan budaya manusia yang bersumber dan berpedoman pada ajaran Islam sebagaimana termaktub dalam al-Quran dan terjabar dalam rangka terbentuknya kepribadian utama menurut barometer Islam.

Sebelum tahun 1900, kita mengenal pendidikan Islam secara perorangan, melalui rumah tangga dan surau/langgar atau masjid. Pendidikan dan pengajaran agama Islam dalam bentuk pengajaran al-Quran dan pengajian kitab yang diselenggarakan di rumah-rumah, langgar/surau, mesjid, pesantren, dan pondok pesantren pada perkembangan selanjutnya mengalami perubahan bentuk baik dari segi kelembagaan, materi pengajaran (kurikulum), metode maupun struktur organisasinya, sehingga melahirkan suatu bentuk lembaga baru yang disebut madrasah.

Latar belakang pertumbuhan madrasah di Indonesia dapat dikembalikan pada dua situasi, pertama adanya gerakan pembaharuan Islam di Indonesia, dan kedua adanya respon pendidikan Islam terhadap kebijakan pendidikan Hindia Belanda.

Gerakan pembaharuan Islam di Indonesia muncul pada awal abad XX di latar belakangi oleh kesadaran dan semangat yang kompleks sebagaimana diuraikan Karel A. Steenbrink dengan mengidentifikasi adanya empat faktor yang mendorong gerakan pembaruan Islam di Indonesia, pertama faktor keinginan kembali kepada al-quran dan sunah, kedua faktor semangat nasionalisme melawan penguasa kolonial belanda, faktor memperkuat basis gerakan sosial, ekonomi, budaya dan politik, dan keempat faktor untuk melekukan pembaruan pendidikan Islam di Indonesia.Bagi tokoh-tokoh pembaruan, pendidikan kiranya senantiasa dianggap sebagai aspek yang strategis untuk membentuk sikap dan pandangan ke-Islaman masyarakat. Oleh karena itu, pemunculan madrasah tidak bisa lepas dari gerakan pembaruan Islam yang dimulai oleh beberapa tokoh-tokoh intelektual agama Islam yang selanjutnya dikembangkan oleh organisasi-organisasi Islam.

Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) adalah gabungan perusahaan-perusahaan Belanda untuk perdagangan di Hindia Timur yang didirikan di Amsterdam pada tahun 1602. Perusahaan ini diberi  piagam hak dagang monopoli oleh pemerintah Belanda di daerah sebelah timur Tanjung Harapan dan sebelah barat Selat Magalhaens. Mengingat bahwa bangsa Belanda beragama Protestan sedangkan orang-orang Indonesia yang dikuasai bangsa Portugis sebelumnya beragama Katolik, maka VOC disamping melaksanakan perdagangan, juga melaksanakan usaha memprotestankan pribumi yang telah beragama Katolik tadi. Untuk itu, VOC mendirikan beberapa sekolah di Indonesia, seperti tahun 1607 di Ambon yang kemudian pada tahun 1627 jumlahnya berkembang menjadi 16 sekolah di  Ambon dan 18 sekolah di pulau-pulau sekitar Ambon. Di Timor didirikan sekolah pada tahun 1617, bahkan antara tahun 1849-1852 didirikan pula 20 sekolah yang berlokasi pada setiap karesidenan oleh pemerintah Hindia Belanda, padahal sebelumnya telah ada 30 sekolah. Sekolah-sekolah tersebut diperuntukkan bagi anak-anak Belanda dan anak-anak Indonesia yang beragama Nasrani.

Pada perkembangan selanjutnya di awal abad XX atas perintah Gubernur Jendal Van Heutsz sistem pendidikan diperluas dalam bentuk sekolah desa, walaupun masih diperuntukkan terbatas bagi kalangan anak-anak bangsawan. Namun pada perkembangan selanjutnya, sekolah ini dibuka secara luas untuk rakyat umum dengan biaya yang murah.

Dengan terbukanya kesempatan yang luas bagi masyarakat umum untuk memasuki sekolah-sekolah yang diselenggarakan secara tradisional oleh kalangan Islam mendapat tantangan dan saingan berat, terutama karena sekolah-sekolah pemerintah Hindia Belanda dilaksanakan dan dikelola secara moderen terutama dalam hal kelembagaan, kurikulum, metodologi, sarana, dan lain-lain. Perkembangan sekolah yang demikian jauh dan merakyat menyebabkan tumbuhnya ide-ide di kalangan intelektual Islam untuk memberikan respons dan jawaban terhadap tantangan tersebut dengan tujuan untuk memajukan pendidikan Islam. Ide-ide tersebut muncul dari tokoh-tokoh yang pernah mengenyam pendidikan di Timur Tengah atau pendidikan Belanda. Mereka mendirikan lembaga pendidikan baik secara perorangan maupun secara kelompok/organisasi dalam bentuk lembaga yang dinamakan madrasah atau sekolah.

Madrasah-madrasah yang didirikan tersebut antara lain, madrasah Adabiyah, madrasah ini didirikan oleh Syeikh Abdullah Ahmad pada tahun 1907 di Padang Panjang, Sumatra Barat. Madras School didirikan pada tahun 1910 oleh M. Thaib Umar di Sugayang, Batusangkar, Sumatra Barat, madrasah diniyah didirikan pada tanggal 10 oktober 1915 oleh Zainudin Labai L. Yunusiy di Padang Panjang Sumatra Barat, Sumatra Tawalib secara formal membuka madrasah di Padang Panjang, Sumatra Barat pada tahun 1921 dibawah pimpinan Syekh Abdul Karim Amrullah, dan madrasah-madrasah lainya pada masa itu.

Sementara itu di Surabaya berdiri sebuah perkumpulan Nahdlatul Wathan (kebangkitan tanah air) yang dihimpun oleh ulama-ulama yang berfaham tradisionalis (faham yang mempertahankan sistem bermadzab). Selain itu, seorang tokoh pergerakan HOS Tjokroaminoto, turut pula membantu. Segera setelah mendapat rectspersoon (setatus badan hukum) dari pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1916, Nahdlatul Wathan berhasil mendirikan cabang di berbagai daerah, seperti Sidoarjo, Gresik, dan Malang.

Setelah Nahdlatul Wathan tebentuk, KH. Wahab Chasbullah dan KH. Mas Mansur mendirikan Taswirul Afkar (bertukar pikiran). Sebuah perkumpulan yang bergerak di bidang sosial, pendidikan, dan dakwah. Jika Nahdlatul Wathan didirikan bersama dengan seorang saudagar, arsitek dan juga dibantu oleh tokoh pergerakan, maka Taswirul Afkar didirikan bersama KH. Ahmad Dahlan (seorang pengasuh pondok Kebondalem), dan R. Mangun (anggota perhimpunan Budi Utomo). Seperti juga namanya, Taswirul Afkar lahir melalui diskusi-diskusi kecil diantara para pendiri mengenai berbagai masalah keagamaan dan kemasyarakatan yang timbul kala itu.

Sejak didirikan pada tahun 1918 hingga tahun 1929, nama yang tertulis di papan pengenal adalah Suryo Sumirat Afdeeling Taswirul Afkar. Ini menunjukkan bahwa, secara organisatoris pada awal mula Taswirul Afkar tidak berdiri sendiri. Tapi, merupakan bagian dari Suryo Sumirat sebuah perkumpulan yang didirikan oleh anggota perhimpunan Budi Utomo yang ada di Surabaya. Hal ini sekedar untuk  mempermudah mendapatkan ijin dari pemerintah Hindia Belanda. Sehingga cara ini ditempuh dengan menjadikan Taswirul Afkar bagian dari Suryo Sumirat. Karena itu, tidak heran jika Dr. Soetomo, seorang nasionalis pendiri Budi Utomo (20 Mei 1908), kemudian Indonenesische Studieclub (1924), justru banyak bergaul dengan ulama-ulama muda seperti KH. Wahab Chasbullah dan KH. Mas Mansur.

Sikap Suryo Sumirat mencerminkan semangat pergaulan itu. Apalagi, anggota yang tergabung di dalamnya terdiri dari berbagai golongan. Karena itu, ketika golongan santri ingin mendirikan perkumpulan yang bergerak  di bidang sosial keagamaan, anggota Suryo Sumirat yang bukan santri tidak merasa keberatan, bahkan menyetujuinya. Maka lahirlah Suryo Sumirat Afdelling Taswirul Afkar.

Demikian napak tilas sejarah berdirinya Taswirul Afkar dari jaman ke jaman kemungkinan besar banyak kekurangan dalam menyimpulkan naskah-naskah yang kami himpun. mudah-mudahan apa yang kami sampaikan banyak manfaat untuk kalian semua. akhir kata Wallahul muafiq ila aqwamithariq.

Penulis 

0 komentar:

Posting Komentar

 

Copyright © 2013. MTs. Taswirul Afkar - All Rights Reserved - Design by Yascomputer - Proudly powered by Mochammad Ilyas